Dewasa
ini telah kita dapati kasus korupsi yang telah marak di seluruh pelosok tanah air
tercinta dengan segala jenis pelaku, serta cara melakukan korupsi. Korupsi telah
menjatuhkan banyak korban dan menyengsarakan masyarakat umum di seluruh pelosok
Indonesia. Banyak sekali masyarakat Indonesia di pelosok sana yang tidak
mendapatkan hak-nya yang telah tercantum dalam konstitusi seperti pembukaan
UUD’45 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Maka dari itu perbuatan korupsi menimbulkan suatu penjajahan di mana telah merampas hak
kemerdekaan seseorang. Hal tersebut tercantum dalam pasal 28C bahwa setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan. Hal mengenai hak seseorang telah tercantum jelas dalam konstitusi kita
pasal 28A-28I UUD 1945 namun nyatanya pemerintah belum mengamanahi konstitusi kita
sebagaimana yang telah
ditentukan,
Tingkat
kemiskinan bukanlah salah satu faktor utama yang mempengaruhi terjadinya tindakan
korupsi. Berdasarkan fakta yang terjadi saat ini, para pelaku korupsi merupakan
seseorang yang secara finansial
sangat cukup dan berpendidikan. Salah satu contoh adalah Nazarudin yang saat ini
sudah ditetapkan menjadi tersangka. Nazarudin ialah seorang yang notabene-nya berasal dari
keluarga yang mampu. Muhammad Nazarudin, beliau putra dari keluarga Muhammad
Latif Khan dan Aminah, yang keduanya merupakan warga keturunan Pakistan dan
sang ayahnya memiliki usaha yang cukup berhasil.[1]
Dengan
adanya salah satu contoh diatas maka sesungguhnya faktor korupsi bukanlah karena
kemiskinan ataupun tidak tingginya pendidikan sesorang, melainkan suatu perilaku
dari setiap manusia. Bahwasannya kemampuan
berfikir seseorang yang mempengaruhi suatu perilaku seseorang agar mereka tidak
melakukan suatu perbuatan
tercela. Dengan begitu betapa pentingnya pendidikan karakter untuk memperbaiki perilaku supaya orang tidak melakukan korupsi. Dalam Moh. Sochib, menurut Weinert dan Kluwe (1987)
menyatakan bahwa metakognitif anak dapat dapat dibangun orang tua dengan
menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan pribadi anak tentang pengetahuan dan
kepercayaan (motivasi, persepsi, dan afeksi), tugas-tugasnya, strategi untuk
memiliki kemampuan pribadi, dan menyadari tugas-tugasnya.[2]
Pelaku
korupsi banyak dilakukan oleh orang-orang terpelajar sehingga menjadi landasan bagi penulis
untuk mengetahui bagaimana pola asuh mempengaruhi kemampuan berfikir dan
moral seseorang dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi kemampuan
berfikir dan moral sesorang. Hal tersebut dipaparkan
bahwa kontradiktif perilaku orang tua yang dirasakan oleh
anak-anak dapat melemahkan kepercayaan terhadap diri mereka, karena orangtua
kurang dapat menjadi figur. Apapun upaya orang tua untuk menanamkan kepemilikan
dalam nilai-nilai moral pada diri anak, hanya akan menjadi konsumsi nalar/logis
yang masih mereka pertanyakan kebenarannya.[3]
Dalam
peranan pola asuh orang tua terhadap anakanya,
penulis mengaji terdapat dua tipe pola asuh yang mempengaruhi kemampuan berfikir dan
moral seorang anak. Yaitu pola asuh otoriter dan pola asuh demokratis. Pola asuh otoriter atau authoritarian parenting ialah suatu gaya membatasi dan menghukum
yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati
pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan
batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada
anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter
diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak.[4]
Misalnya, orang tua yang memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu atas
kehendaknya tanpa persetujuan iya atau tidak dari sang anak, dengan melakukan
sikap yang keras, “sehabis makan kamu harus segera belajar selama 2 jam setelah
itu tidur siang. Tidak ada bermain!” dengan hal ini seorang anak akan merasa
takut dan khawatir apabila ia salah melakukan perintah orang tuanya, didalam
benaknya,
jika ia salah ia pasti akan dihukum. Hal ini sangat tidak bagus dalam
perkembangan masa hidup seorang anak. Dengan demikian semua perbuatan yang anak
lakukan akan disertai degan rasa cemas dan tidak percaya diri, mudah diakomodir
oleh seseorang untuk melakukan sesuatu atas dasar kehendak seseorang dengan
dasar kekuasaan. Kemampuan berfikir seperti itu yang telah tertanam sejak masa
anak-anak akan melekat pada diri sesorang, ketika orang tersebut memasuki dunia
pekerjaann, dan ia mendapatkan tekanan untuk berbuat suatu perbuatan tercela
seperti korupsi, ia akan mudah melakukannya atas dasar rasa takut dan khawatir
akan resiko apabila ia tidak melakukannya. Hal ini menjadi sangat tidak baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita.
Sedangkan pola asuh demokratis
disini ialah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban, orang tua dan anak
adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan
menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Seperti memberitahu seorang
anak untuk tidak mencuri dengan cara memberitahu dengan lembut namun tegas dan dikaitkan
dengan nilai agama dan pesan moral. Seperti “nak, kalau mencuri nanti hasil curian
itu tidak halal dan tuhan tidak menyukai perbuatan tersebut”. Jadi perintah
yang disampaikan dikaitkan dengan pesan moral dan nilai agama. Sehingga, secara
tidak langsung ia dapat menggunakan
kemampuan berfikir dengan pesan moral dan nilai agamanya
bukan larangannya. Dengan begitu anak akan memiliki kemampuan berfikir
yang bermartabat sesuai dengan kaedah agama.
Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap
memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi
verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap
hangat dan bersikap membesarkan hati remaja. Pengasuhan demokratis
(autoritatif) berkaitan dengan perilaku sosial
remaja yang kompeten.
Demokratisasi dan keterbukaan dalam suasana kehidupan
keluarga adalah syarat esensial terjadinya pengakuan
dunia ke orang tua oleh anak
dan dunia keanakan anak oleh orangtua, dan situasi kehidupan yang dihayati
bersama. Secara filosofis, terbukanya peluang bagi mereka
untuk menghadirkan eksistensi dirinya akan memudahkan
mereka untuk saling membaca. Jika anak merasa diterima dalam keluarga, mereka
mudah untuk membangun konsep diri dan berpikir positif. Dengan demikian anak
memiliki dasar-dasar untuk mau dan terdorong belajar dari siapa saja tentang
suatu hal, termasuk untuk memiliki dan mengembangkan nilai-nilai moral sebagai dasar
berperilaku yang berdisiplin diri.
Keterbukaan merupakan wahana untuk menyadarkan anak bahwa
orang tuanya senantiasa berusaha untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap nilai-nilai moral.
Dengan demikian, diantara mereka dapat membentuk metakognisi dan metaafeksi.
Dengan kemampuan membangun metakognisi dan metaafeksi mereka dapat merenugkan
nilai-nilai moral yang telah dimiliki untuk ditingkatkan kepemilikannya. Karena
telah terbentuk pengertian diri, akan memudahkan mereka utnuk mengadakan
koreksi diri dalam meningkatkan perilaku yang patuh terhadap nilai-niai moral.[5]
Dalam pola asuh demokratis orang tua dan anak akan saling terbuka
dan memiliki kepercayaan satu sama lain dan tidak menitikberatkan kesalahan hanya
pada anak. Seorang anak pun
akan merasa lebih nyaman dalam melakukan aktivitasnya.
Keluarga
pada dasarnya memiliki peran besar terhadap terbentuknya anak bangsa yang bermartabat. Sehingga keluarga perlu menerapkan
pola asuh demokratis kepada anggota keluarganya. Dengan melakukan metode penyuluhan, seminar maupun talk show yang memberikan pengetahuan
tentang pola asuh demokratis terhadap anak.
Penanaman pendidikan karakter kepada penerus-penerus bangsa agar kita semua memiliki moral dan karakter
yang bermartabat. Salah satu media utama pendidikan karakter yang sangat mempengaruhi
ialah keluarga. Terutama orang tua yang memiliki peran penting terhadap anaknya.
POLA ASUH
DEMOKRATIS
|
ANAK LEBIH BERTANGGUNG JAWAB
TERHADAP PERILAKU DAN PERBUATANNYA
|
ANAK MERASA LEBIH DIHARGAI, KARENA
DILIBATKAN DALAM KELUARGA
|
ANAK LEBIH LELUASA UNTUK
MENGUNGKAPKAN PENDAPATNYA KEPADA ORANG TUA
|
MEMBERI KESEMPATAN BERPENDAPAT
|
MENGAJAK ANAK DALAM MENGAMBIL
KEPUTUSAN KELUARGA
|
MENGAJARKAN TANGGUNG JAWAB PADA
ANAK
|
Gambar
1. Flow-chart pola asuh demokratis mencegah korupsi
Maka
dari itu himbauan kepada para orang tua untuk menerapkan pola asuh demokratis
demi mencegah perbuatan korupsi. Karena, faktor utama yang mempengaruhi pembentukan
karakter bangsa yang bermartabat ialah peran orang tua dari segi pola asuh, dan
didukung dengan agama. Keduanya tidak dapat dipisahkan dari penanaman karakter bangsa yang
bermartabat. Dengan begitu upaya pencegahan
korupsi akan terlaksana meskipun lamban namun hasilnya akan terasa demi menuju
Indonesia yang bermartabat dengan diisi oleh penerus bangsa yang bermartabat.
Untuk upaya pemberantasan hukum kita sudah secara jelas dan tegas dalam pemberantasan,
mekanisme menghukum Indonesia pun sudah bagus, hanya saja orang-orang didalam penegak
hukumlah yang perlu diperbaiki. Dengan kemudian Indonesia akan menyongsong
Indonesia yang bermartabat.
(oleh Nur Annisa, Esai ini telah dilombakan dan mendapatkan Juara 3 di ajang Kertas Nasional 2013 di Universitas Hasanuddin)
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nazaruddin “ diakses terakhir
tanggal 20 juni 2013 pukul 20.30 WIB”
[2]Shochib,Moh.
2000. Rineka Cipta: Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu AnakMengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta: Anggota IKAPI.
Hal 109
[3]ibid
[4]Santrock,
John. 2002. Erlangga: Live –Span Developvent. Jakarta:Anggota IKAPI. Hal 257
[5]Shochib,Moh.
2000. Rineka Cipta: Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu AnakMengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta: Anggota IKAPI.
Hal 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar