Jumat, 11 Oktober 2013

Pola Asuh Demokratis Mempengaruhi Karakter Bangsa


Dewasa ini telah kita dapati kasus korupsi yang telah marak di seluruh pelosok tanah air tercinta dengan segala jenis pelaku, serta cara melakukan korupsi. Korupsi telah menjatuhkan banyak korban dan menyengsarakan masyarakat umum di seluruh pelosok Indonesia. Banyak sekali masyarakat Indonesia di pelosok sana yang tidak mendapatkan hak-nya yang telah tercantum dalam konstitusi seperti pembukaan UUD’45 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Maka dari itu perbuatan korupsi menimbulkan suatu penjajahan di mana telah merampas hak kemerdekaan seseorang. Hal tersebut tercantum dalam pasal 28C bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan. Hal mengenai hak seseorang telah tercantum jelas dalam konstitusi kita pasal 28A-28I UUD 1945 namun nyatanya pemerintah belum mengamanahi konstitusi kita sebagaimana yang telah ditentukan,
Tingkat kemiskinan bukanlah salah satu faktor utama yang mempengaruhi terjadinya tindakan korupsi. Berdasarkan fakta yang terjadi saat ini, para pelaku korupsi merupakan seseorang yang secara finansial sangat cukup dan berpendidikan. Salah satu contoh adalah Nazarudin yang saat ini sudah ditetapkan menjadi tersangka. Nazarudin ialah seorang yang notabene-nya berasal dari keluarga yang mampu. Muhammad Nazarudin, beliau putra dari keluarga Muhammad Latif Khan dan Aminah, yang keduanya merupakan warga keturunan Pakistan dan sang ayahnya memiliki usaha yang cukup berhasil.[1]
Dengan adanya salah satu contoh diatas maka sesungguhnya faktor korupsi bukanlah karena kemiskinan ataupun tidak tingginya pendidikan sesorang, melainkan suatu perilaku dari setiap manusia. Bahwasannya kemampuan berfikir seseorang yang mempengaruhi suatu perilaku seseorang agar mereka tidak melakukan suatu perbuatan tercela. Dengan begitu betapa pentingnya pendidikan karakter untuk memperbaiki perilaku supaya orang tidak melakukan korupsi. Dalam Moh. Sochib, menurut Weinert dan Kluwe (1987) menyatakan bahwa metakognitif anak dapat dapat dibangun orang tua dengan menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan pribadi anak tentang pengetahuan dan kepercayaan (motivasi, persepsi, dan afeksi), tugas-tugasnya, strategi untuk memiliki kemampuan pribadi, dan menyadari tugas-tugasnya.[2]
Pelaku korupsi banyak dilakukan oleh orang-orang  terpelajar sehingga menjadi landasan bagi penulis untuk mengetahui bagaimana pola asuh mempengaruhi kemampuan berfikir dan moral seseorang dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi kemampuan berfikir dan moral sesorang. Hal tersebut dipaparkan bahwa kontradiktif perilaku orang tua yang dirasakan oleh anak-anak dapat melemahkan kepercayaan terhadap diri mereka, karena orangtua kurang dapat menjadi figur. Apapun upaya orang tua untuk menanamkan kepemilikan dalam nilai-nilai moral pada diri anak, hanya akan menjadi konsumsi nalar/logis yang masih mereka pertanyakan kebenarannya.[3]
Dalam peranan pola asuh orang tua terhadap anakanya, penulis mengaji terdapat dua tipe pola asuh yang mempengaruhi kemampuan berfikir dan moral seorang anak. Yaitu pola asuh otoriter dan pola asuh demokratis. Pola asuh otoriter atau authoritarian parenting ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak.[4] Misalnya, orang tua yang memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu atas kehendaknya tanpa persetujuan iya atau tidak dari sang anak, dengan melakukan sikap yang keras, “sehabis makan kamu harus segera belajar selama 2 jam setelah itu tidur siang. Tidak ada bermain!” dengan hal ini seorang anak akan merasa takut dan khawatir apabila ia salah melakukan perintah orang tuanya, didalam benaknya, jika ia salah ia pasti akan dihukum. Hal ini sangat tidak bagus dalam perkembangan masa hidup seorang anak. Dengan demikian semua perbuatan yang anak lakukan akan disertai degan rasa cemas dan tidak percaya diri, mudah diakomodir oleh seseorang untuk melakukan sesuatu atas dasar kehendak seseorang dengan dasar kekuasaan. Kemampuan berfikir seperti itu yang telah tertanam sejak masa anak-anak akan melekat pada diri sesorang, ketika orang tersebut memasuki dunia pekerjaann, dan ia mendapatkan tekanan untuk berbuat suatu perbuatan tercela seperti korupsi, ia akan mudah melakukannya atas dasar rasa takut dan khawatir akan resiko apabila ia tidak melakukannya. Hal ini menjadi sangat tidak baik untuk pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita.
Sedangkan pola asuh demokratis disini ialah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban, orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Seperti memberitahu seorang anak untuk tidak mencuri dengan cara memberitahu dengan lembut namun tegas dan dikaitkan dengan nilai agama dan pesan moral. Seperti “nak, kalau mencuri nanti hasil curian itu tidak halal dan tuhan tidak menyukai perbuatan tersebut”. Jadi perintah yang disampaikan dikaitkan dengan pesan moral dan nilai agama. Sehingga, secara tidak langsung ia dapat menggunakan kemampuan berfikir dengan pesan moral dan nilai agamanya bukan larangannya. Dengan begitu anak akan memiliki kemampuan berfikir yang bermartabat sesuai dengan kaedah agama. Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja. Pengasuhan demokratis (autoritatif) berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten.
Demokratisasi dan keterbukaan dalam suasana kehidupan keluarga adalah syarat esensial terjadinya pengakuan dunia ke orang tua oleh anak dan dunia keanakan anak oleh orangtua, dan situasi kehidupan yang dihayati bersama. Secara filosofis, terbukanya peluang bagi mereka untuk menghadirkan eksistensi dirinya akan memudahkan mereka untuk saling membaca. Jika anak merasa diterima dalam keluarga, mereka mudah untuk membangun konsep diri dan berpikir positif. Dengan demikian anak memiliki dasar-dasar untuk mau dan terdorong belajar dari siapa saja tentang suatu hal, termasuk untuk memiliki dan mengembangkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin diri.
Keterbukaan merupakan wahana untuk menyadarkan anak bahwa orang tuanya senantiasa berusaha untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap nilai-nilai moral. Dengan demikian, diantara mereka dapat membentuk metakognisi dan metaafeksi. Dengan kemampuan membangun metakognisi dan metaafeksi mereka dapat merenugkan nilai-nilai moral yang telah dimiliki untuk ditingkatkan kepemilikannya. Karena telah terbentuk pengertian diri, akan memudahkan mereka utnuk mengadakan koreksi diri dalam meningkatkan perilaku yang patuh terhadap nilai-niai moral.[5] Dalam pola asuh demokratis orang tua dan anak akan saling terbuka dan memiliki kepercayaan satu sama lain dan tidak menitikberatkan kesalahan hanya pada anak. Seorang anak pun akan merasa lebih nyaman dalam melakukan aktivitasnya.
Keluarga pada dasarnya memiliki peran besar terhadap terbentuknya anak bangsa yang  bermartabat. Sehingga keluarga perlu menerapkan pola asuh demokratis kepada anggota keluarganya. Dengan melakukan metode penyuluhan, seminar maupun talk show yang memberikan pengetahuan tentang pola asuh demokratis terhadap anak. Penanaman pendidikan karakter kepada penerus-penerus  bangsa agar kita semua memiliki moral dan karakter yang bermartabat. Salah satu media utama pendidikan karakter yang sangat mempengaruhi ialah keluarga. Terutama orang tua yang memiliki peran penting terhadap anaknya.








POLA ASUH DEMOKRATIS
           

ANAK LEBIH BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP PERILAKU DAN PERBUATANNYA

ANAK MERASA LEBIH DIHARGAI, KARENA DILIBATKAN DALAM KELUARGA

ANAK LEBIH LELUASA UNTUK MENGUNGKAPKAN PENDAPATNYA KEPADA ORANG TUA

MEMBERI KESEMPATAN BERPENDAPAT
MENGAJAK ANAK DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN KELUARGA

MENGAJARKAN TANGGUNG JAWAB PADA ANAK
 
















Gambar 1. Flow-chart pola asuh demokratis mencegah korupsi

Maka dari itu himbauan kepada para orang tua untuk menerapkan pola asuh demokratis demi mencegah perbuatan korupsi. Karena, faktor utama yang mempengaruhi pembentukan karakter bangsa yang bermartabat ialah peran orang tua dari segi pola asuh, dan didukung dengan agama. Keduanya tidak dapat dipisahkan dari penanaman karakter bangsa yang bermartabat. Dengan begitu upaya pencegahan korupsi akan terlaksana meskipun lamban namun hasilnya akan terasa demi menuju Indonesia yang bermartabat dengan diisi oleh penerus bangsa yang bermartabat. Untuk upaya pemberantasan hukum kita sudah secara jelas dan tegas dalam pemberantasan, mekanisme menghukum Indonesia pun sudah bagus, hanya saja orang-orang didalam penegak hukumlah yang perlu diperbaiki. Dengan kemudian Indonesia akan menyongsong Indonesia yang bermartabat. 
(oleh Nur Annisa, Esai ini telah dilombakan dan mendapatkan Juara 3 di ajang Kertas Nasional 2013 di Universitas Hasanuddin)


[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nazaruddin “ diakses terakhir tanggal 20 juni 2013 pukul 20.30 WIB”
[2]Shochib,Moh. 2000. Rineka Cipta: Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu AnakMengembangkan Disiplin Diri. Jakarta:  Anggota IKAPI. Hal 109
[3]ibid
[4]Santrock, John. 2002.  Erlangga: Live –Span Developvent. Jakarta:Anggota IKAPI. Hal 257
[5]Shochib,Moh. 2000. Rineka Cipta: Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu AnakMengembangkan Disiplin Diri. Jakarta:  Anggota IKAPI. Hal 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar