MEMBASMI KORUPSI DI SARANG
POLITISI: IKHTIAR MEWUJUDKAN REPUBLIK NIRKORUPSI 2014
Oleh:
Allan Fatchan Gani Wardhana
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Tahun 2013 merupakan tahun politik,
karena pada tahun ini akan banyak kegiatan politik menghiasi negeri ini sebagai
persiapan menghadapi tahun 2014 atau tahun pemilu. Melakukan persiapan menjelang
pemilu adalah hal yang wajar dan memang perlu, karena menyukseskan pemilu bukan
persoalan sepele, melainkan persoalan yang butuh persiapan panjang dan matang.
Berbicara pemilu bukan hanya bicara
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Partai Politik semata, namun bicara soal Pemilu
adalah bicara kita semua. Pemilu adalah awal untuk menjemput sebuah takdir
bangsa. Melalui pemilu-lah kedaulatan rakyat tersalurkan karena konsepsi kedaulatan
rakyat memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang
menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya. Maka untuk
menjemput dan menyukseskan pemilu perlu ikhtiar dari semua kalangan agar takdir
bangsa dapat terwujud sesuai kehendak rakyat.
Pemilu merupakan mekanisme utama
dalam demokrasi perwakilan. Melalui pemilu rakyat memilih para pejabat yang
akan bertindak untuk dan atas nama rakyat. Pemilu juga merupakan alat bagi
rakyat untuk mengontrol pemerintahan, jika kecewa terhadap suatu pemerintahan,
maka rakyat tidak akan memilihnya lagi. Namun
menurut penulis mekanisme kontrol yang dilakukan melalui pemilu adalah
mekanisme kontrol yang kurang efektif. Selain karena jangka waktunya lama, juga
bahwa hakekat dari kontrol itu sendiri bukan hanya saat menjelang pemilu namun
juga sesudah pemilu berlangsung.
Melihat realitas saat ini
wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen (baca : sarang politisi) cukup
mengecewakan. Rakyat hampir “muak”
dengan ulah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang ada di parlemen.
Akibatnya publik hampir tidak percaya lagi dengan anggota DPR. Dari tidur saat
sidang, kunjungan ke luar negeri yang hanya menghambur-hamburkan uang hingga ke
persoalan yang mewabah sistemik hingga sampai saat ini yaitu korupsi yang
menjerat wakil-wakil rakyat.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari mengatakan
maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan anggota DPR adalah salah satu penyebab
anjloknya kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat (Nasional Kompas, 2013). Sebelumnya pada tahun 2012
Survei dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menempatkan DPR sebagai lembaga
paling korup. Hal ini terjadi karena banyaknya kasus korupsi yang melibatkan
anggota parlemen. Sebanyak 1030 atau 47 persen dari 2192 responden berpendapat
bahwa DPR adalah lembaga paling korup (Survey SSS, 2012). Tentu hal ini adalah persoalan yang sangat serius dan tak
bisa dibiarkan begitu saja.
Menurut penulis fakta-fakta di atas
menunjukkan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan serius karena lembaga DPR
sudah terjangkiti virus korupsi hingga sedemikian parah. Bahkan parlemen saat ini identik dengan sarangnya
korupsi. Uniknya kita semua sudah menjadi biasa melihat pemberitaan korupsi
yang dilakukan oleh elit politik. Ibaratnya, sudah menjadi makanan sehari-hari.
Apabila hal ini terus dibiarkan tentunya akan sangat berbahaya bagi eksitensi
demokrasi yang berlangsung selama ini. Oleh karenanya, sebelum demokrasi di
Indonesia roboh, lewat tulisan ini, penulis ingin memberikan suatu konstribusi
pemikiran yang dapat dijadikan alternatif solusi untuk membasmi korupsi di
sarang politisi untuk mewujudkan parlemen yang berkualitas serta mewujudkan Republik
Nirkorupsi pada tahun 2014 mendatang.
Analisis
Penyebab Terjadinya Parlemen Korup
Ketidakpercayaan masyarakat
terhadap DPR serta dinobatkannya DPR sebagai lembaga terkorup disebabkan oleh beberapa faktor, pertama
gagalnya fungsi rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik. Melalui fungsi rekrutmen
politik, partai politik memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah
untuk menyeleksi kader-kader pemimpin pada jenjang dan posisi-posisi tertentu.
Dalam perekrutan calon legislatif (caleg) sekaligus penempatan untuk posisi
wakil rakyat semua diatur oleh partai politik. Hal ini membuktikan besarnya kekuasaan partai
politik dalam memainkan peran penghubung yang strategis dalam proses
pemerintahan.
Tidak dilibatkannya
masyarakat dalam rekrutmen politik oleh partai politik, sesungguhnya adalah hal
yang tidak dapat dibenarkan menurut prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi yang
kita anut. Rakyat yang seharusnya diajak untuk bersama-sama mengembangkan
kehidupan demokrasi, nyatanya justru hampir tidak diberdayakan. Akibatnya
caleg-caleg yang diturunkan oleh partai politik dalam pemilu adalah caleg yang
dekat dengan partai, bukan dekat dengan rakyat. Bahkan lebih parahnya, rakyat sering tidak
tahu rekam jejak caleg yang ada di dapilnya.
Kedua
partai politik saat ini cenderung oligarkis, hanya diatur dan dikuasai oleh
segelintir elit. Tidak diajaknya rakyat untuk mengembangkan kehidupan demokrasi
bersama mengindikasikan ke-oligarkisan tersebut. Benar apa yang disebut oleh
Jimly Ashiddiqie bahwa organisasi dan termasuk juga organisasi politik
cenderung oligarkis, kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama
kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk
kepentingan pengurusnya sendiri (Asshiddiqie, 2011: 410). Survei Publica
Research and Consultin merilis bahwa masyarakat kelas menengah Indonesia
rupanya menganggap anggota DPR hanya mewakili partai ketimbang aspirasi rakyat (Nasional
Kompas, 2013). Survey tersebut digelar dalam rangka menjelang pemilu 2014.
Ketiga,
lemahnya pengawasan publik terhadap parlemen dan partai politik. Publik belum
mempunyai mekanisme yang efektif dalam melakukan pengawasan. Padahal hakekat
dari pengawasan adalah suatu tindakan yang harus dilakukan setiap saat. Mekanisme
pengawasan saat ini yang dilakukan melalui pemilu adalah mekanisme kontrol yang
kurang efektif. Selain karena jangka waktunya lama, juga bahwa hakekat dari kontrol
itu sendiri bukan hanya saat menjelang pemilu namun juga sesudah pemilu.
Penyebab-penyebab di atas jelas tidak
sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik yang menegaskan bahwa tujuan
khusus partai politik adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Adanya
kata-kata masyarakat menegaskan bahwa partai politik itu sesungguhnya adalah
milik masyarakat dan dalam kegiatan politik apapun masyarakat harus diajak
untuk berpartisipasi. Aturan itu adalah bentuk manifestasi dari Pasal 1 ayat 2
UUD 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi
yang sesungguhnya adalah rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahkan
kekuasaan hendaklah diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat (Ashiddiqie,
2011: 58).
Ikhtiar
Membasmi Korupsi di Sarang Politisi Menuju Republik Nirkorupsi 2014
Upaya
yang dapat dilakukan untuk membasmi korupsi di sarang Politisi dapat ditempuh
secara preventif dan repersif. Sebagai langkah preventif, partai politik
harus menggaransi calon legislatif yang akan bertarung di Pemilu 2014. Penggaransian
ini dimaksudkan agar wakil-wakil rakyat yang kelak akan duduk di parlemen
benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas. Hal ini sangat mendesak untuk
dilakukan karena partai politik merupakan satu-satunya
kendaraan bagi masyarakat untuk memilih wakil rakyat di DPR pada pesta demokrasi
nasional tahun depan. Mau tidak mau rakyat harus memilih wakil rakyat yang
diusung parpol pada Pemilu Legislatif karena pada dasarnya rakyatlah yang
sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan
kehidupan kenegaraan
yang basisnya adalah demokrasi yang menurut asal kata berarti
“rakyat berkuasa” atau “government or
rule by the people” (Huda, 2006: 241). Adanya
Penggaransian caleg ini dalam rangka mengidealkan fungsi rekrutmen serta
meminimalisir keoligarkisan partai politik. Tentunya hal ini memerlukan
mekanisme. Dalam konteks ini mekanisme yang dimaksud adalah mekanisme internal
partai politik itu sendiri melalui pengaturan tertulis yang intinya berisi
bahwa partai politik harus menggaransi calegnya agar caleg yang kelak akan
duduk di parlemen adalah legislator yang berkapabilitas, berintegritas serta ulung
dalam menerjemahkan aspirasi rakyat. Pengaturan semacam itu dapat dirumuskan
dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.
Langkah represifnya,
merevitalisasi peran publik dalam mengawasi parlemen dan partai politik. Seringkali kita disuguhkan berbagai macam hasil survey dari
sejumlah lembaga survey yang ada di negeri ini. Rata-rata, kesimpulan dalam
hasil survey tersebut menghasilkan fakta yang menarik yaitu bahwa mayoritas
publik tidak percaya lagi dengan partai politik. Alasan publik tidak percaya
lagi dengan partai politik sangat beragam. Salah satu alasan yang menjadi rilis
umum oleh sejumlah lembaga survey mengenai ketidak percayaan publik terhadap
partai politik adalah karena kasus korupsi yang menimpa elit politik.
Ditempatkannya parlemen sebagai lembaga terkorup juga cukup mengejutkan.
Selama
ini publik belum mempunyai mekanisme yang efektif dalam melakukan pengawasan
terhadap partai politik selain melalui mekanisme pemilu yang dilksanakan lima
tahunan. Padahal berbicara pengawasan, sekali lagi bukan hanya saat menjelang
pemilu tetapi juga setelah pemilu berlangsung. Esensi adanya pengawasan publik
terhadap parlemen dan partai politik setelah pemilu harus dimaknai sebagai
bentuk partisipasi politik publik. Secara umum, selama ini partisipasi politik
hanya diartikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin
negara (Budiarjo, 2008: 367). Namun, partisipasi
politik itu haruslah dimaknai lebih luas lagi yaitu bahwa pengawasan terhadap parlemen dan partai politik adalah
bagian dari partisipasi politik publik. Konsep pengawasan ini tentunya juga
butuh mekanisme yang kuat dan efektif. Mekanisme itu adalah pemberian legal standing kepada perseorangan atau
badan hukum untuk usul dalam perkara pembubaran partai politik. Selama ini yang
menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah pemerintah,
padahal kita tahu bahwa saat ini partai pemerintahlah yang bermasalah. Logikanya
tidak mungkin pemerintah akan membubarkan partainya sendiri. Usul pembubaran
partai politik oleh perseorangan atau badan hukum janganlah dimaknai negatif
melainkan mekanisme itu haruslah dipahami sebagai bentuk pengawasan. Pemberian legal standing itu harus dimuat ke dalam
aturan tertulis. Pengawasan melalui mekanisme tersebut juga termasuk bagian
dari tindak lanjut apabila parpol gagal dalam menggaransi calegnya. Maka dari
itu kedua upaya diatas adalah upaya yang saling menunjang satu sama lain.
Kedua
upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk penerjemahan dari Pasal 10 ayat 1 UU Partai Politik yang
intinya menegaskan bahwa tujuan umum parpol adalah mengembangkan kehidupan
demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat dan Pasal 10 ayat 2 UU Partai Politik
yaitu tujuan khusus parpol adalah untuk meningkatkan partisipasi politik
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.
Jadi, semua upaya di atas juga ditempuh
dalam rangka melaksanakan undang-undang.
Catatan Penutup
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk membasmi korupsi di sarang
politisi diperlukan upaya-upaya yang serius, antara lain partai politik harus
menggaransi calegnya dalam Pemilu 2014 dengan memasukkan aturan mengenai
peggaransian caleg melalui aturan internal partai politik (AD/ART) dan
merevitalisiasi peran publik dalam pengawasan parlemen dan partai politik
dengan memberikan legal standing
kepada perseorangan atau badan hukum dalam usul pembubaran partai politik. Pembasmian
korupsi di sarang politisi diharapkan mampu melahirkan parlemen yang
berkualitas. Mewujudkan parlemen yang berkulitas haruslah dimaknai sebagai
bagian dari cara untuk menyukseskan Pemilu dan mewujudkan Republik Nirkorupsi
tahun 2014.
(tulisan dimuat di Jurnal Indonesia dan menjadi 5 besar kompetisi Esai Soegeng Sarjadi School of Government 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar