Reformasi
telah bergulir selama 13 Tahun. Pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda
reformasi yang harus dilaksanakan dan dituntaskan. Alih-alih dituntaskan,
berbagai upaya untuk memberantasnya pun menapaki jalan yang berliku dan terjal.
Negeri ini termasuk negeri yang subur dengan persoalan korupsi. Persoalan yang
sudah mendarah daging. Korupsi sudah menjadi lingkaran setan dan menjadi
penyebab penyakit kronis bangsa. Untuk menyembuhkannya butuh pengobatan yang
esktra serius dan sungguh-sungguh.
Realitas saat
ini, fenomena korupsi yang merebak di jagat bangsa ini banyak didominasi oleh
peran dan aktivitas partai politik. Banyak yang kemudian menyebut bahwa partai
politik saat ini sudah beralih, dari yang tadinya sebagai pilar demokrasi
berubah menjadi pilar korupsi. Partai politik dan fenomena korupsi di Indonesia dapat diibaratkan dua sisi mata uang,
keduanya memiliki hubungan yang cukup erat. Setidaknya, hal itu tercermin dari hasil
survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia. Selama empat tahun, yakni tahun 2003,
2004, 2007, dan 2008, survei tersebut menempatkan partai politik sebagai
lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia (Anti Korupsi Org : 2010). Selain itu, data
Transparency International (TI) menunjukkan, pada survei tahun 2003,
partai politik tercatat sebagai lembaga terkorup setelah lembaga peradilan. Setahun berikutnya, 2004, partai politik
dan parlemen menempati posisi pertama. Data
terbaru yang dirilis Lembaga Survei Nasional (LSN) pada tanggal 24 Maret 2013, menunjukkan
70,4 persen dari masyarakat menilai Partai Demokrat sebagai terkorup disusul
Partai Golkar 5,7 persen, PKS, 4,4 persen, PDI Perjuangan 1,7 di tempat kedua,
ketiga dan ke empat (Berita
Online : 2013). Korupsi yang dilakukan oleh kader partai
politik kini sudah pada taraf yang kronis. Jika sebelumnya hanya melibatkan anggota
dan pengurus yang posisinya dalam kepengurusan partai politik tidak strategis,
maka kini melibatkan ketua umum partai politik.
Melihat data
dan fakta di atas tentu kita menjadi miris dan pilu. Agenda pemberantasan korupsi
benar-benar menapaki jalan yang berliku, terjal, dan tak berkesudahan. Partai
politik yang seharusnya berperan aktif dalam mewujudkan demokrasi yang kokoh,
justru sebaliknya berkontribusi menjadikan demokrasi di Indonesia keropos.
Korupsi sangat jelas merusak sendi-sendi dan tatanan demokrasi. Ada adagium
yang menyatakan “Political Parties
created Democracy”, baik burukunya kualitas demokrasi ditentukan oleh
seberapa baik dan buruk kualitas partai politik. Jika aktivitas, peran, dan
fungsi partai politik saat ini memicu korupsi maka demokrasi-lah yang akan
menjadi keropos, runtuh, dan kemudian tenggelam.
Secara ideal partai
politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik merupakan pilar yang
sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis (Asshiddiqie, 2011 : 401). Fungsi partai politik antara lain sebagai
sarana komunikasi politik, sosialiasi politik, rekrutmen politik, dan sarana
pengatur konflik (Budiardjo, 2008 :
405). Dengan melihat peranan dan fungsi partai politik yang sangat vital dalam
alam demokrasi maka mewujudkan partai politik yang baik dan bersih menjadi hal
yang sangat urgen dan mendesak.
Sementara realitanya partai politik sudah masuk sebagai pilarnya korupsi.
Peran partai politik menjadi bias, fungsi-fungsi tak jalan sehingga terjadilah pembusukan
politik (political decay).
Partai politik yang
terindikasi korup, sudah selayaknya dievaluasi. Sudah jelas padahal tujuan
khusus partai politik adalah membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara salah satu kewajibannya
adalah mengamalkan Pancasila sebagaimana ditegaskan di dalam UU No.2 Tahun 2008
jo UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dengan adanya fenomena korupsi
oleh partai politik tersebut, maka tujuan partai politik tak dapat dicapai dan
kewajibannya pun tak dilaksanakan. Hal ini jelas melanggar undang-undang, bahkan
melanggar kepatutan dan esensi kehadiran partai politik itu sendiri. Oleh
karena itu, akan sangat penting kemudian untuk mereformasi partai politik guna
mewujudkan Good And Clean Political
Parties sebagai salah satu upaya solutif untuk berantas korupsi yang masif.
Partai Politik Sebagai Pilar Korupsi
Secara prinsip
kita tahu bahwa partai politik adalah pilar demokrasi. Namun, dengan beragamnya
kasus korupsi yang timbul akibat peran dan fungsi parpol yang tidak dijalankan
dengan benar, sebagian masyarakat menganggap bahwa parpol selain sebagai pilar demokrasi
juga sebagai pilar korupsi. Menurut penulis anggapan semacam itu tidaklah
berlebihan dan penulis menganggap hal itu sebagai kritik terhadap partai
politik saat ini. Kritik yang demikian harus dimaknai sebagai vitamin dan
suplemen demokrasi. Mengapa publik menganggap seperti itu? Yang pertama bahwa semenjak reformasi bergulir satu-satunya
institusi yang tak ikut direformasi ialah partai politik. Kita semua tahu bahwa
partai politik mempunyai peranan yang strategis dalam sistem demokrasi. Selain
mempunyai peranan yang strategis, partai politik juga mempunyai kekuasaan yang
besar seperti memegang peranan rekrutmen politik. Dalam hal fungsi
rekrutmen politik, partai politik memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan
yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin pada jenjang dan posisi-posisi
tertentu. Fakta saat ini menunjukkan
bahwa parpol
adalah sumber rekrutmen utama pejabat publik dari tingkat Presiden hingga Kepala Daerah. Pemilihan Panglima
TNI, Kapolri, KPK, KY, duta
besar dan lain-lain juga harus melalui fit and proper test di DPR yang mana anggota-anggota DPR adalah orang-orang partai
politik. Jelas bahwa partai politik mempunyai peranan dan kekuasaan yang sangat
besar dan luas. Anehnya kekuasaan yang besar itu dibiarkan tanpa ada mekanisme
pengawasan yang efektif, sehingga dalil Lord Acton—Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely—terus
terbukti sampai sekarang ini.
Bahkan Budiman
Sudjatmiko, anggota Komisi II DPR menyebut rekrutmen politik
adalah 'neneknya' korupsi. Rekrutmen
politik yang salah dan tidak transparan cenderung mengakibatkan semakin
suburnya tindak pidana korupsi, seperti dalam pemilihan kepala daerah atau
anggota legislatif (Nasional
Kompas, 2013). Data dari Departemen Dalam Negeri, sejak pilkada langsung digelar sampai Februari
2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat
kasus korupsi (Rakyat Merdeka
Online, 2013). Kalau boleh ditarik kebelakang, data itu sebagi bukti imbas
rekrutmen politik yang tidak transparan. Calon kepala daerah membayar biaya
yang sangat mahal untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik agar calon
tersebut diusung dalam pilkada. Ini hal yang tak bisa dipungkiri, sehingga
saat terpilih dia akan berpikir bagaimana cara mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Di sini yang bisa ditarik dari pernyataan tersebut
adalah bahwa orang partai politik pun mengakui bahwa rekrutmen politik memang
menjadi pemicu persoalan korupsi. Bagaimana tidak, disitulah rawan terjadi
politik transaksional sehingga jika nanti pejabat itu terpilih, dia akan
berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan saat tawar-menawar
jabatan politik.
Kemudian yang kedua, partai politik tidak transparan
dan akuntabel dalam hal keuangan. Dalam
pasal 34 Undang-undang Partai Politik
dijelaskan bahwa sumber keuangan partai politik berasal dari iuran
anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan Negara. Khusus untuk dana yang bersumber dari
dana APBN dan APBD Partai Politik langsung diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Sedangkan dana yang berasal dari sumbanga, mekanisme pelaporan dan pertanggungjawabannya kabur
dan tidak jelas. Sudah menjadi perbincangan umum jika partai politik saat ini
tidak transparan dan akuntabel dalam hal pengelolaan keuangan partai politik.
Maka jika tidak transparan dan akuntabel jangan pernah berharap
adanya pemerintahan yang akuntabel dan transparan, yang bebas korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Ketiga, Partai
Politik terbukti gagal melaksanakan agregasi dan artikulasi kepentingan
konstituennya baik dalam bentuk peraturan maupun kebijakan politik yang pro rakyat. Kegagalan
artikulasi serta agregasi kepentingan ini seolah disengaja oleh partai politik
dengan cara mengalienasi rakyat dari policy
& law making process. Hal ini dilakukan guna memuluskan berbagai agendanya agar
menjadi sahih secara legal maupun politis. Kegagalan (kesengajaan) partai
politik dalam hal ini paling nyata terlihat dalam politik anggaran publik
dimana anggaran publik diarahkan oleh segerombolan bandit politik (baik dalam
parlemen maupun pejabat politik di dalam pemerintahan) hanya untuk kepentingan
mereka sendiri. Contoh kasusnya adalah kasus Hambalang, Wisma Atlit, Dana
Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), dan lain-lain. Akibat kesengajaan partai politik dalam
mengalienasi proses penganggaran telah membunuh tujuan esensial dari demokrasi
yakni menyejahterakan masyarakat, sehingga masyarakat sedari awal tidak memiliki
pengetahuan apalagi kesadaran kritis akan arah politik anggaran publik. Korupsi semacam ini nampaknya yang paling
berbahaya karena mampu mengelabui perspektif publik dengan cara cara yang
seolah-olah legal.
Mengacu pada
hal tersebut, kita semua tidak boleh
diam dan harus berperan aktif untuk mengembalikan partai politik sebagai pilar
demokrasi dan menjadikannya sebagai pilar utama dalam memberantas korupsi.
Mewujudkan Good And Clean Political
Parties Sebagai Upaya Solutif Berantas Korupsi Masif
Reformasi
partai politik menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan guna mewujudkan good and clean political parties sebagai
upaya solutif untuk memberantas korupsi yang masif. Upaya yang pertama adalah adalah dengan
merevitalisasi peran dan fungsi partai politik. Selama ini kita mengenal
asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
menghasilkan pemerintahan yang baik dan bersih dari praktik korupsi. Asas-asas
itu bisa kemudian diadopsi ke dalam sistem partai politik. Ada dua asas penting
yang bisa diadopsi yaitu asas akuntabilitas dan asas keterbukaan. Dalam hal
rekrutmen, partai politik harus menggunakan kedua asas itu. Akuntabilitas
bermakna bahwa setiap kegiatan dan hasil dari rekrutmen politik harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi di suatu negara. Keterbukaan bermakna membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur tentang proses rekrutmen
politik. Sehingga disini mencegah adanya politik transaksional serta rekruitmen
yang koruptif. Virus Korupsi dapat dihindari sejak awal dengan menerapkan dua
asas ini dalam proses rekrutmen.
Upaya yang kedua adalah revitalisasi laporan
keuangan partai politik. Dalam hal laporan pertanggungjawaban keuangan partai
politik, kedua asas itu juga harus diberlakukan. Akuntabilitas bermakna bahwa
setiap sumbangan dan pengeluaran keuangan partai politik harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sementara keterbukaan bermakna bahwa
partai politik harus membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar dan jujur terkait hal keuangan partai politik. Sebagai
institusi publik, partai politik harus mempertanggungjawabkan seluruh
tindakannya kepada publik, termasuk secara transparan dan akuntabel melaporkan kepada
publik sumber-sumber keuangan yang diperoleh dalam membiayai seluruh kegiatan partai politik. Hal semacam ini harus diatur secara terang, jelas, dan
tegas sebagai salah satu kewajiban partai politik. Di sinilah
kemudian letak urgensi revitalisasi laporan
keuangan partai politik yang baik dan benar.
Upaya ketiga adalah pelibatan publik dalam
proses perumusan kebijakan dan penganggaran termasuk besaran alokasi dan
peruntukannya. Kita bisa mencontoh kota Porto Allegre di Brazil yang menerapkan
“participatory
budgeting” . Melalui konsep itu disana masyarakat dilibatkan dalam
penentuan setiap kebijakan dan alokasi anggaran. Sebagai upaya memberantas
korupsi, mutlak kita harus mengadopsi sistem semacam ini untuk kemudian
diterapkan. Pelibatan peran publik dalam merumuskan kebijakan dan anggaran
harapannya agar masyarakat tahu dan paham uang pubik akan diarahkan kemana dan
dengan mengetahuinya maka mereka akan dapat mengawasi, serta partai semestinya
terbuka (accountable) dalam politik
penganggaran publik.
Catatan Penutup
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa reformasi partai politik mendesak untuk dilakukan guna mewujudkan
good and clean political parties
sebagai salah satu upaya solutif berantas korupsi yang masif. Upaya yang dapat
ditempuh adalah merevitalisasi peran dan fungsi partai politik dan merevitalisasi
laporan keuangan partai politik dengan mengadopsi asas akuntabilitas dan asas
keterbukaan sebagaimana yang kita kenal dalam asas-asas umum pemerintahahan
yang baik. Upaya selanjutnya adalah melibatkan publik dalam proses perumusan
kebijakan dan penganggaran termasuk besaran alokasi dan peruntukannya. Jika
upaya-upaya tersebut dilaksanakan, ini akan menjadi rintisan sejarah yang
penting bagi perjalanan Bangsa Indonesia dalam menghadapi dan memberantas
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Cet
3.Jakarta: Rajawali Press.
Miriam Budiardjo,2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Grafika Pustaka Utama.
Inilah
Partai Politik Paling Korup menurut Lembaga Survei dalam http://www.beritaonline.web.id/2013/03/partai-politik-paling-korup-menurut-lembaga-survei.html,
diakses 15 Oktober 2013
Parpol
Tak Lepas dari Jerat Korupsi dalam
http://www.antikorupsi.org/id/content/parpol-tak-lepas-dari-jerat-korupsi
, diakses 15 Oktober 2013
Proses
Rekrutmen Politik Nenenknya Korupsi dalam http://nasional.kompas.com/read/2013/09/05/1018475/Proses.Rekrutmen.Politik.Neneknya.Korupsi , diakses
15 Oktober 2013
300
Kepala Daerah Terjerat Kasus
Korupsi dalam http://www.rmol.co/read/2013/02/14/98335/Ssttt,-300-Kepala-Daerah-Terjerat-Kasus-Korupsi
, diakses 15 Oktober 2013